Pages

Saturday, May 17, 2014

Mourinho yang Kontroversial


SELASA, 23 SEPTEMBER 2008 | 08:26 WIB

Di Italia, tempat ia melatih Inter Milan, Mourinho mulai membuat ucapan kontroversial terhadap pelatih Juventus yang menjadi pendahulunya di Chelsea: Claudio Ranieri. Begini komentar soal Ranieri: "Omong-omong, berapa usianya? Tujuh puluh? Tidak heran sepakbolanya sangat antik," katanya seperti dikutip harian Times.

Itu di awal. Nah, 10 hari silam Inter Milan bersusah payah mengalahkan Catania 2-1. Kejadian ini memunculkan rentetan kontroversi sampai sekarang. 

Dalam pertandingan itu, selain Inter bersusah payah, satu pemainnya juga terkena kartu merah. Tapi Mourinho adalah Mourinho. Ia memandang dunia dengan berbeda. 

Menurutnya itu bukan kemenangan susah payah. "Kami mestinya bisa menang  5-1 dalam pertandingan itu," kata pelatih hebat yang tidak bisa bermain sepakbola itu. "Malahan, saya bisa menjadi kiper Inter dan tetap menang."

Bagi yang mengenal Mourinho, hiperbola seperti ini bukan barang langka. Tapi Direktur Catania, Pietro Lo Monaco, sangat tersinggung kesebelasannya dihina begitu rupa oleh Mourinho.

"Orang yang berkomentar sepert itu tidak memiliki rasa hormat pada yang lain, pada lawan tandngnya, atau pada negara tempatnya menjadi tamu sekarang," kata Lo Monaco. "Mourinho, sederhana saja, itu jenis orang yang mulutnya layak digebuk tongkat."

Lo Monaco, setelah ucapannya itu disebut memancing kekerasan, berdalih ungkapannya adalah "ungkapan Sisilia". 

Tapi kubu Mourinho dan Inter Milan bertindak. Presiden Inter, Massimo Moratti, menyebut ungkapan Lo Monaco itu tidak beradab dan mengirim keluhan kepada  otoritas sepakbola Italia dengan tuduhan Lo Monaco memancing kekerasan. Ia juga meminta Lo Monaco diberi sanksi.

Itu reaksi Moratti. 

Reaksi Mourinho? Dengar ini:

"Lo Monaco?" ungkap Mourinho. "Saya tidak tahu siapa dia. Saya tahu biarawan Tibet (monaco, dalam bahasa Italia, berarti biarawan), saya tahu Bayern Munchen (disebut Bayern Monaco di Italia), saya tahu Grand Prix Monaco, tapi saya tidak tahu ada Monaco lainnya lagi."

Mourinho kemudian berlagak serius. "Jika orang ini ingin publisitas gratis dengan  membawa nama saya, lebih baik ia membayarnya. Adidas menampilkan saya di iklan mereka tapi mereka membayar mahal. Saya tidak dibayar untuk membantu Lo Monaco dimuat di koran-koran."

Dalam sebuah wawancara pada akhir pekan lalu, Mourinho kemudian memberi ucapan sangat pedas pada Lo Monaco.

"Saya tidak pergi ke mana-mana untuk memprovokasi orang," kata Mourinho. "Tapi jika ada yang menghadapi, saya tidak akan menyingkir. Dan saya juga tahu saya orang yang bisa membuat koran laris serta menarik perhatian. Lihat saja Lo Monaco ini. Berkat saya, semua orang tahu siapa dia. Ia bahkan masuk CNN dan itu publikasi gratis. Hasil yang fantastis bukan?"


Sumber :
http://www.tempo.co

Thursday, May 1, 2014

Cara Mourinho 'Memarkir Dua Bus' di Anfield


Semalam, seusai dikalahkan oleh Chelsea di kandangnya sendiri, Brendan Rodgers memberi komentar terkait taktik bertahan yang dilakukan oleh Jose Mourinho. Menurut Rodgers, mantan mentornya itu tak hanya memarkir satu, tetapi dua bus sekaligus di depan Mark Schwarzer.

Komentar itu sedikit banyak bisa menggambarkan salah satu pertandingan penting dalam perebutan gelar juara Liga Inggris kali ini. The Blues bertahan dan menyerahkan 73% penguasaan bola pada Liverpool, sementara The Reds bertubi-tubi menyerang.

Tetapi, justru Chelsea mampu menang dan mencetak dua gol dalam pertandingan kali ini.

Sebenarnya, tak ada yang aneh dengan pilihan taktik Mou, atau hasil akhir dari pertandingan ini. Tim yang bertahan memang kerap mencuri gol secara tak terduga dengan memanfaatkan kelengahan lawan. Tapi, patut diingat bahwa bermain bertahan tak semudah menumpuk 11 orang di area kotak penalti. Butuh organisasi dan kecerdikan dalam penempatan pemain dan membaca situasi untuk mendapatkan hasil maksimal.

Butuh juga kemampuan merusak konsentrasi dan mental lawan seperti dipraktikkan oleh para punggawa Chelsea semalam.

Lalu bagaimanakah cara Mou menumpuk dua bus di Anfield sebagaimana dituduhkan oleh Rodgers?

Skuat Seadanya

Datang ke Anfield, Chelsea sebenarnya memiliki modal skuat "seadanya". Lima pemain utama mereka harus absen karena cedera dan hukuman larangan bermain. Mourinho sendiri bahkan sempat bilang bahwa ia memilih fokus ke Liga Champions karena kesempatannya di Liga Inggris sangat kecil.

Chelsea bahkan juga harus menurunkan bek muda mereka Tomas Kalas yang justru menjalani debutnya pada pertandingan besar melawan Liverpool.

Sementara itu Brendan Rodgers menghadapi laga ini dengan menerapkan prinsip "don’t change the winning team". Liverpool bermain dengan tim inti yang nyaris sama dengan yang memenangkan beberapa pertandingan beruntun sebelumnya. Hanya Jordan Henderson yang absen karena akumulasi kartu, dan Sturridge yang masuk sebagai pemain pengganti karena belum sepenuhnya pulih.

Menahan Sejak Menit Pertama

Pada BPL musim ini, tercatat Liverpool hanya dua kali gagal mencetak gol pada babak pertama, yakni melawan Southampton dan Arsenal. Kedua pertandingan itu berakhir dengan kekalahan untuk The Reds.

Pola ini yang berusaha dimanfaatkan Mourinho dengan mencegah anak-anak asuhan Brendan Rodgers untuk mencetak gol cepat.

Gerrard dkk dibuat frustasi dan cenderung bermain terburu-buru, salah satu "kebiasaan" Liverpool musim ini jika sedang mengejar gol. Sedikit dimengerti, karena mereka juga diwajibkan memburu kemenangan, karena harus menjauh dari kejaran City maupun Chelsea sendiri.

Pada awal pertandingan, Mou sebenarnya menggunakan tiga pemain di depan untuk melakukan pressing. Fungsinya adalah mencegah Liverpool membangun serangan dari belakang. Demba Ba akan berada di sayap kanan untuk melakukan pressing pada Skrtel dan John Flannagan, sementara Schuerrle berhadapan langsung dengan Gerrard.

Tak cukup hanya itu, para gelandang Chelsea juga diinstruksikan untuk menjaga pemain tengah Liverpool satu per satu. Sehingga sebenarnya ada tiga lapis pertahanan yang diterapkan The Blues pada babak pertama, yakni: 1) tiga orang di depan 2) penjagaan oleh gelandang, serta 3) bek yang berdiri rapat di depan Schwarzer.

Tak hanya melalui penempatan pemain, berbagai cara sebenarnya juga dilakukan untuk mencegah tuan rumah mencetak gol terlebih dahulu. Tak cukup menggunakan taktik bertahan yang disiplin, pemain Chelsea berusaha mengulur-ulur waktu bahkan sejak lima menit pertandingan berjalan.

Hingga menit ke-33 saja wasit Martin Atkinson sudah lima kali memperingati agar pemain Chelsea tak berusaha mencuri kesempatan membuang waktu.
Terlepas dari gol Demba Ba berasal dari blunder yang dilakukan Steven Gerrard, namun bagaimana cara Chelsea melakukan penjagaan terhadap pemain Liverpool juga berpengaruh besar. Sang kapten yang ingin membagi bola dari belakang tak menyangka posisinya terlalu dekat dengan Ba.

Disiplin dalam Melakukan Transisi Bertahan

Tak mudah bermain bertahan dan mencuri 2 gol melawan tim paling produktif di Liga Inggris (96 gol). Dibutuhkan transisi dan kordinasi yang baik, agar semua celah kembali tertutup rapat sambil sesekali melakukan serangan balik.

Mourinho juga pandai dalam menyikapi cara dan membaca situasi permainan. Jika babak pertama melakukan pressing ketat melalui tiga lapis pertahanan, cara ini diubahnya pada babak kedua.

Ini tentu karena Chelsea telah mendapatkan satu gol sementara Liverpool akan meningkatkan instensitas menyerang demi mengejar kemenangan, atau minimal hasil seri.

Chelsea menurunkan garis pertahanan dan merubah formasi ke 4-4-1-1 bertahan. Dua sayap yang tadinya banyak beroperasi di depan kemudian turun dan hampir sejajar dengan fullback. Sepanjang babak kedua, Schurrle akan melapisi Ashley Cole sementara Salah membantu Azpilicueta. 
Hanya ada Lampard yang tetap berdiri di belakang Demba Ba untuk sesekali membantu serangan balik.

Penguasaan bola praktis menjadi milik tuan rumah sepenuhnya. Apalagi dengan turunnya dua sayap seperti yang disebutkan di atas. Bahkan ketika Chelsea menguasai bola, mereka tidak bisa melakukan serangan dengan cepat, karena kedua sayap harus memulai dari jauh di belakang.

Cara hampir sama dengan dilakukan Mourinho saat menahan imbang Atletico di leg pertama Liga Champions. Hanya saja kali ini posisi pemain di belakang lebih bebas dengan menyesuaikan pergerakan lini depan Liverpool.

Memaksa Liverpool Melakukan Crossing dan Mencegah Umpan Terobosan

Pada pertandingan kali ini, total 42 kali umpan silang dilakukan Liverpool dengan hanya 8 yang mencapai sasaran. Padahal, menurut catatan WhoScored, musim ini The Reds hanya melakukan rata-rata 17 kali dalam satu pertandingan. Suarez-Sterling yang biasanya ditempatkan sebagai penyerang di area sayap memang lebih sering cutting inside ketimbang melakukan crossing.

Semalam, taktik umpan silang ini memang terpaksa dilakukan karena rapatnya pertahanan Chelsea sehingga Liverpool tidak mampu melakukan umpan terobosan yang menjadi andalan mereka musim ini.

Apalagi dengan masuknya Sturridge, yang menggantikan Lucas pada menit 58, Liverpool justru menumpuk pemain di depan. Peran penyerang Inggris tersebut juga tak banyak hingga akhir pertandingan. Ia hanya 15 kali menyentuh bola dan tidak melakukan tembakan satupun.

Menjelang pertandingan berakhir, justru dirinya melakukan kesalahan yang berujung gol penutup Willian. Willian yang masuk beberapa saat setelah Lucas ditarik keluar juga merupakan respons Mourinho untuk memberi tenaga baru di sayap kanan. Ini dilakukan untuk meredam aksi Flannagan agar tidak terlalu sering naik ke depan.

Tidak bisa melakukan umpan terobosan dan banyak gagal melakukan umpan silang membuat Liverpool mencari alternatif lain, yakni tendangan di luar kotak penalti. Gerrard seolah ingin menebus kesalahannya dengan berusaha mencetak gol.

Namun sekali lagi rapatnya pertahanan Chelsea membuat sang kapten lebih sering melakukan tendangan-tendangan dari luar kotak penalti. Total sembilan kali Gerrard melakukannya tanpa hasil positif satu pun.

Catatan Gerrard ini adalah rekor di Liga Inggris musim 2013/2014, yaitu pertama kalinya seorang pemain melakukan tembakan hingga sembilan kali, namun tidak mencetak gol dalam satu pertandingan.

Selain itu, pemain Liverpool juga menjadi tertekan dan bermain seolah terburu-buru. Sebagai tim yang mengejar ketertinggalan, hal ini sebenarnya wajar saja. Tetapi cara menyerang The Reds seakan dipaksa secepat mungkin masuk ke kotak penalti, dengan tidak mencoba memancing keluar pertahanan Chelsea.

Mourinho juga terus melakukan penyegaran di semua lini dengan memasukan pemain-pemain baru dengan tidak merubah pola. Masuknya Cahill menggantikan Schuerrle, misalnya. Karena saat bertahan sebenarnya Schurrle bertindak layaknya seorang fullback, dengan Cole yang bergeser ke tengah.

Puncaknya tentu adalah Fernando Torres yang mempunyai kesempatan menggiring bola tanpa kawalan hasil dari intersepsi Willian.

Kesimpulan

Mourinho mampu menang di Anfield dengan berbagai taktik yang dilakukannya. Chelsea tidak hanya dibuat menjadi benteng kokoh yang seakan mustahil untuk ditembus, namun juga mampu melontarkan meriam di akhir untuk memenangkan pertandingan.

Demikian juga dengan mental bertahan yang dipersiapkan dengan sempurna oleh Mou. Selama 90 menit mereka tidak terpancing untuk keluar dari kandang atau melakukan pelanggaran tak perlu yang berujung pada penalti. Ini satu hal yang tak bisa dilakukan oleh lawan-lawan Liverpool lainnya.

Dua gol yang mampu dilesakkan sebagai seorang tim yang bermain bertahan di kandang lawan juga patut diberikan apresiasi. Kedua striker Chelsea, Demba dan Torres, sama sekali tak menyia-nyiakan kesempatan emas yang datang hanya dua kali selama 90 menit itu.

Pada akhirnya, satu kesimpulan yang kita tarik adalah tim dengan lini serang tertajam musim ini tak mampu mengalahkan tim dengan lini pertahanan paling kokoh.

====

*dianalisis oleh @panditfootball. 

Sumber :
http://sport.detik.com

Related Posts